Pikiran berkecamuk.
Hujan masih menderu.
Masih berputar-putar dalam pikiran.
Sepele sekali.
Lucu jika dipikirkan.
Sungguh bodoh.
Pikiran masih berkecamuk
Hujan masih menderu.
Aku?
Aku masih terus berpikir.
Saat aku berubah pikiran
Bbssssssstttttttt.....
Semua hilang!
Musnah!
Hanya sedetik saja.
Saat aku berubah pikiran, dan....
semua musnah.
Kerja yang baik!
Minggu, 13 April 2014
Kamis, 03 April 2014
Don't Judge Book by Its Cover
Pepatah yang sudah sangat klise dan banyak dipakai orang untuk mengungkapkan suatu hal bahwa jangan hanya lihat tampilannya saja memang benar adanya. Bahkan saya pun sering mengalami hal itu. Tapi tidak salah juga kan kalo kita melihat dari tampilan awal? Tampilan awal akan berdampak pada kesan awal juga. Jadi, buat saya kesan awal itu penting untuk selanjutnya.
Sama halnya seperti membeli sebuah buku. Hal pertama yang akan dilihat adalah desain covernya (Pepatah terbukti). Kalau terlihat dari jauh buku tersebut punya desain cover yang eyecatching, pasti saya akan mendatangi buku itu diantara banyaknya buku yang tersebar di berbagai sisi toko buku. Tapi itu bukan jadi hal utama, yang utama adalah track record penulis. Bagaimana penulis itu sudah menulis buku-bukunya, bagaimana alur cerita yang dibuat penulis dalam buku-bukunya. Selanjutnya adalah membaca sinopsis. Berhati-hatilah dalam hal ini, jika kita belum terlalu mengenal penulisnya dan hanya ingin membeli berdasarkan alur singkat cerita dalam sinopsisnya, maka berhati-hatilah. Terkadang sinopsis menipu, membodohi, dan berbeda dengan alur cerita aslinya. Terkadang juga dari sinopsis kita ingin mengetahui dan dibuat penasaran dengan ending cerita.
Berbicara tentang ending cerita dalam novel ataupun buku. Bagi saya, sad ending lebih menampilkan "greget" ketimbang happy ending. Lagi-lagi saya heran dengan diri sendiri kenapa lebih suka cerita yang berakhir tragis, sedih, atau pun menggantung. Perspektif lain adalah bahwa saat cerita itu berakhir tragis, sedih, atau pun menggantung, hal itu malah lebih menguras emosi dan malah bernalar bagaimana kelanjutan ceritanya dan saya lebih punya banyak dugaan untuk akhir cerita yang bisa seenaknya saya pikirkan.
Dari sekian novel yang sudah saya baca, hanya Ai karya Winna Effendi yang paling saya sukai. Alur ceritanya klise dan sudah biasa. Hanya bercerita tentang kisah cinta tiga orang yang saling bersahabat, cinta yang tak terungkapkan karena menjaga persahabatan, serta berakhir tragis yaitu salah satu diantara mereka meninggal. Klise sekali bukan? Tapi, Winna Effendi benar-benar cerdas saat mengemas alur cerita terlebih sudut pandang penulisannya. Menguras emosi saat membacanya dan benar-benar suka saat endingnya memang harus seperti itu. Sad ending memang lebih menampilkan hal yang berbeda. Cerita yang sudah sangat klise dibuat sad ending pun akan lebih menarik. Kenapa? Karena saat sebuah cerita berakhir bahagia, yaa selanjutnya cerita diteruskan dengan kisah-kisah bahagia. Berbeda dengan sad ending, kita akan lebih menerka bagaiman kelanjutannya? Apakah benar-benar tragis atau menggantung?
Yah, pada akhirnya semua ini relatif, tergantung bagaimana ketertarikan tiap orang. Apakah lebih menyukai ending yang bahagia atau pun menyedihkan. Semuanya relatif dan bisa dipilih. Cuma satu harapannya, walaupun menyukai sad ending dalam cerita novel-novel, tapi semoga cerita hidup saya tidak sad ending karena semua orang mendamba akhir yang bahagia hahaha :)
Menonton sebuah film bukan lah sebuah hal yang benar-benar saya sukai. Biasa saja. Aneh? Tidak juga. Toh semua di alam ini memang relatif. Ada yang disukai dan ada yang tidak disukai. Apa jadinya kalau semua orang suka pada satu hal yang sama. Mungkin malah kesetimbangan tidak ada? Well, anggap hal ini wajar saja. Suka dan tidak suka, gemar dan tidak gemar, tertarik dan tidak tertarik semua wajar dan relatif.
Satu hal yang membosankan bagi teman-teman saya adalah saat : "Eh nonton yuk! Film apa?" Sepertinya hanya saya yang punya opsi untuk nonton film Indonesia dan sad ending. Entah lah terkadang juga aneh kenapa saya tidak begitu suka film barat dengan actionnya atau pun konpirasinya. Bukan tidak suka, sepertinya hanya saya kurang "mau" untuk mencoba. Jujur saja, terpaku pada satu hal yang sudah sangat saya sukai lebih menjadi opsi ketimbang mencoba hal yang baru.
Sama halnya seperti mendamba Nicholas Saputra. Pertama kali menonton Ada Apa dengan Cinta, melihat Nicholas Saputra, dan......suka! Diantara banyaknya aktor yang ada, Nicholas Saputra tetap yang paling kharismatik dan keren. Entah bagaimana, bagi saya Nicholas Saputra selalu terlihat introvert dan saya selalu suka itu. Dalam film Gie pun, penokohan Nicholas Saputra setipe dengan di film AADC. Tidak ada yang jadi masalah, Nicholas Saputra tetap menjadi yang paling introvert dan kharismatik bagi saya. Rasa-rasanya mendamba Nicholas Saputra adalah opsi yang terbaik diantara ribuan opsi untuk mendamba aktor lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)